ilustrasi: steemkr |
Seolah menangkap ketidaknyamananku, kawanku nyeletuk, "Kamu gak enak ya ngomongin soal korupsi sama aku. Mentang-mentang aku kerja di pemerintahan?"
Aku kaget tapi sekaligus lega. "Iya bro. Takutnya kamu tersinggung."
"Ndak pa-pa . Aku ngerti kok. Udah sering nemuin orang model kamu."
"Oh, gitu ya. Ha ha, syukurlah. Takut keceplosan," ujarku sambil tertawa kecil.
"Iya. Tenang aja... Oya, persepsi kamu itu gak salah juga. Karena memang banyak orang-orang seperti kami yang terjebak dalam lingkaran korupsi. Termasuk aku."
"Hah! Kamu juga? Kamu gak takut ngomong begitu di tempat umum? Kalau ada yang denger gimana? Kamu gak takut ditangkap?"
"Hahaha, ngapain takut. Biar saja. Toh aku gak pakai uangnya."
"Maksud kamu?"
Dia kemudian menatapku. Lebih lama dari biasanya dan bercerita jika dia memang terlibat dalam beberapa projek milik pemerintah Provinsi dan Kota. Tapi dia tidak terlibat sebagai kelompok utama. Bagiannya hanya dua digit. Termasuk kecil jika dibandingkan dengan yang lain yang bisa mencapai ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Dia mengaku juga pernah menerima gratifikasi berupa satu set gadget terbaru saat projek perbaikan saluran air dan jalan utama kota. Itu kecil juga jika dibandingkan beberapa yang dia tahu ada yang menerima rumah, mobil atau paket travel ke luar negeri.
Aku menyela, "Tapi kamu bilang tadi kalau uangnya tidak kamu pakai. Bagaimana bisa?"
Kali ini kawanku tersenyum kecil dan menjelaskan jika dia memang tidak pernah memakai uang itu. Semua masih utuh termasuk bunganya. Barang-barang gratifikasi yang dia terima pun tidak pernah di gunakan dan hanya ditumpuk di gudang belakang rumah. Uang yang masuk ke rekeningnya atau yang dia terima dalam bentuk tunai dia kumpulkan dalam satu rekening terpisah dengan rekening yang biasa dia pakai. Nominalnya sekarang sudah mencapai miliaran.
"Aku sengaja kumpulkan semua uang dan barang itu. Aku gak tahu kapan kasus yang membuatku terlibat itu akan terkuak. Biar nanti jika ada masalah, biar semua itu jadi barang bukti sekaligus menunjukkan jika aku punya itikad baik untuk mengembalikan uang rakyat."
"Aku tidak bisa menjadi pengkhianat diantara teman-temanku yang masih beranggapan korupsi adalah ikhtiar mendapatkan rezeki. Tapi aku juga tidak bisa mengkhianati hati nuraniku. Itu tetaplah uang rakyat yang terkadang didapatkan dengan susah payah. Minimal akan bisa mengurangi rasa bersalahku. Ya bisa dibilang aku ini koruptor. Koruptor profesional."
Aku termenung...
Di negeri yang berlandaskan Pancasila ini, korupsi sudah menjadi sebuah sistem kerja. Tidak mengenal orang baik (seperti kawanku) atau jahat. Begitu kita masuk dalam lingkaran tersebut, maka hanya soal waktu kita akan menjadi bagian sistem yang korup. Idealisme prinsip hidup terpaksa dikorbankan karena dikondisikan harus membuat manusia melakukan pilihan-pilihan yang kadang tidak disukainya. Banyak dari kita memilih hidup "baik-baik" daripada hidup benar.
Tapi itulah hidup... Saat kita mengabaikan nilai-nilai akhirat, maka yang terjadi adalah kuatnya keterikatan kita dengan nilai-nilai dunia.
Comments
Post a Comment